Kewalian Mbah Dullah, KH Abdullah Salam dari Kajen Pati, diakui justru
karena sepanjang hidupnya, ia berusaha melaksanakan ajaran dan
keteladanan pemimpin agungnya, Muhammad SAW. Terutama dalam sikap,
perilaku, dan kegiatan-kegiatannya; baik yang berhubungan dengan Allah
maupun dengan sesama hambaNya.
Berperawakan gagah. Hidung
mancung. Mata menyorot tajam. Kumis dan jenggotnya yang putih perak,
menambah wibawanya. Hampir selalu tampil dengan pakaian putih-putih
bersih, menyempurnakan kebersihan raut mukanya yang sedap dipandang.
Melihat
penampilan dan rumahnya yang tidak lebih baik dari gotakan tempat
tinggal santri-santrinya, mungkin orang akan menganggapnya miskin; atau
minimal tidak kaya. Tapi tengoklah; setiap minggu sekali pengajiannya
diikuti oleh ribuan orang dari berbagai penjuru dan semuanya disuguhi
makan.
Selain pengajian-pengajian itu, setiap hari ia menerima
tamu dari berbagai kalangan yang rata-rata membawa masalah untuk
dimintakan pemecahannya. Mulai dari persoalan keluarga, ekonomi, hingga
yang berkaitan dengan politik. Bahkan pedagang akik dan minyak pun
beliau terima dan beliau ‘beri berkah’ dengan membeli dagangan mereka.
Ketika
ia masih menjadi pengurus (Syuriyah) NU, aktifnya melebihi yang
muda-muda. KH Abdullah Salam tidak pernah absen menghadiri musyawarah
semacam Bahtsul masaail, pembahasan masalah-masalah yang berkaitan
dengan agama, yang diselenggarakan wilayah maupun cabang. Pada saat
pembukaan muktamar ke 28 di Situbondo, panitia memintanya –atas usul
kiai Syahid Kemadu—untuk membuka Muktamar dengan memimpin membaca
Fatihah 41 kali. Dan ia jalan kaki dari tempat parkir yang begitu jauh
ke tempat sidang, semata-mata agar tidak menyusahkan panitia.
Semasa
kondisi tubuh nya masih kuat, ia juga melayani undangan dari berbagai
daerah untuk memimpin khataman Quran, menikahkan orang, memimpin doa,
dsb.
Ketika kondisi nya sudah tidak begitu kuat, orang-orang pun
menyelenggarakan acaranya di rumahnya. Mbah Dullah, begitu orang
memanggil kiai sepuh haamilul Qur’an ini, meskipun sangat disegani dan
dihormati termasuk oleh kalangan ulama sendiri, ia termasuk kiai yang
menyukai musyawarah.
Ia bersedia mendengarkan bahkan tak
segan-segan meminta pendapat orang, termasuk dari kalangan yang lebih
muda. Ia rela meminjamkan telinganya hingga untuk sekedar menampung
pembicaraan-pembicaraan sepele orang awam. Ini adalah bagian dari sifat
tawaduk dan kedermawanannya yang sudah diketahui banyak orang.
Tawadu
atau rendah hati dan kedermawanan adalah sikap yang hanya bisa dijalani
oleh mereka yang kuat lahir batin, seperti Mbah Dullah. Mereka yang
mempunyai (sedikit) kelebihan, jarang yang mampu melakukannya. Mempunyai
sedikit kelebihan, apakah itu berupa kekuatan, kekuasaan, kekayaan,
atau ilmu pengetahuan, biasanya membuat orang cenderung arogan atau
minimal tak mau direndahkan.
Rendah hati berbeda dengan rendah
diri. Berbeda dengan rendah hati yang muncul dari pribadi yang kuat,
rendah diri muncul dari kelemahan. Mbah Dullah adalah pribadi yang kuat
dan gagah luar dalam. Kekuatannya ditopang oleh kekayaan lahir dan
terutama batin. Itu sebabnya, disamping dermawan dan suka memberi, Mbah
Dullah termasuk salah satu –kalau tidak malah satu-satunya – kiai yang
tidak mudah menerima bantuan atau pemberian orang, apalagi sampai
meminta. Pantangan. Seolah-olah beliau memang tidak membutuhkan apa-apa
dari orang lain. Bukankah ini yang namanya kaya?
Ya, mbah Dullah
adalah tokoh yang mulai langka di zaman ini. Tokoh yang hidupnya
seolah-olah diwakafkan untuk masyarakat. Bukan saja karena ia punya
pesantren dan madrasah yang sangat berkualitas; lebih dari itu sepanjang
hidupnya, mbah Dullah tidak berhenti melayani umat secara langsung
maupun melalui organisasi (Nahdlatul Ulama).
Mungkin banyak orang
yang melayani umat, melalui organanisi atau langsung; tetapi yang dalam
hal itu, tidak mengharap dan tidak mendapat imbalan sebagaimana mbah
Dullah, saya rasa sangat langka saat ini. Melayani bagi mbah Dullah
adalah bagian dari memberi. Dan memberi seolah merupakan kewajiban bagi
beliau, sebagaimana meminta –bahkan sekedar menerima imbalan jasa--
merupakan salah satu pantangan utama.
Ia tidak hanya memberikan
waktunya untuk santri-santrinya, tapi juga untuk orang-orang awam.
Beliau mempunyai pengajian umum rutin untuk kaum pria dan untuk kaum
perempuan yang beliau sebut dengan tawadluk sebagai ‘belajar bersana’.
Mereka yang mengaji tidak hanya beliau beri ilmu dan hikmah, tapi juga
makan setelah mengaji.
Pernah ada seorang kaya yang ikut mengaji,
berbisik-bisik: “Orang sekian banyaknya yang mengaji kok dikasi makan
semua, kan kasihan kiai.” Dan orang ini pun sehabis mengaji menyalami
mbah Dullah dengan salam tempel, bersalaman dengan menyelipkan uang.
Spontan mbah Dullah minta untuk diumumkan, agar jamaah yang mengaji
tidak usah bersalaman dengannya sehabis mengaji. “Cukup bersalaman dalam
hati saja!” katanya.
Konon orang kaya itu kemudian diajak Mbah
Dullah ke rumahnya yang sederhana dan diperlihatkan tumpukan karung
beras yang nyaris menyentuh atap rumah, “Lihatlah, saya ini kaya!” kata
mbah Dullah kepada tamunya itu.
Memang hanya hamba yang fakir ilaLlah-lah, seperti mbah Dullah, yang sebenar-benar kaya.
Kisah
lain; pernah suatu hari datang menghadap Mbah Dullah, seseorang dari
luar daerah dengan membawa segepok uang ratusan ribu. Uang itu
disodorkan kepada Mbah Dullah sambil berkata: “Terimalah ini, mbah,
sedekah kami ala kadarnya.”
“Di tempat Sampeyan apa sudah tak ada
lagi orang faqir?” tanya mbah Dullah tanpa sedikit pun melihat tumpukan
uang yang disodorkan tamunya, “kok Sampeyan repot-repot membawa sedekah
kemari?”
“Orang-orang faqir di tempat saya sudah kebagian semua, mbah; semua sudah saya beri.”
“Apa Sampeyan menganggap saya ini orang faqir?” tanya mbah Dullah.
“Ya enggak, mbah …” jawab si tamu terbata-bata.
Belum
lagi selesai bicaranya, mbah Dullah sudah menukas dengan suara penuh
wibawa: “Kalau begitu, Sampeyan bawa kembali uang Sampeyan. Berikan
kepada orang faqir yang memerlukannya!”
Kisah di atas yang
beredar tentang ‘sikap kaya’ mbah Dullah semacam itu sangat banyak dan
masyhur di kalangan masyarakat daerahnya.
Mbah Dullah ‘memiliki’,
di samping pesantren, madrasah yang didirikan bersama rekan-rekannya
para kiai setempat. Madrasah ini sangat terkenal dan berpengaruh;
termasuk –kalau tidak satu-satunya— madrasah yang benar-benar mandiri
dengan pengertian yang sesungguhnya dalam segala hal.
32 tahun
pemerintah orde baru tak mampu menyentuhkan bantuan apa pun ke madrasah
ini. Orientasi keilmuan madrasah ini pun tak tergoyahkan hingga kini.
Mereka yang akan sekolah dengan niat mencari ijazah atau
kepentingan-kepentingan di luar ‘menghilangkan kebodohan’, jangan
coba-coba memasuki madrasah ini.
Ini bukan berarti madrasahnya
itu tidak menerima pembaruan dan melawan perkembangan zaman. Sama
sekali. Seperti umumnya ulama pesantren, beliau berpegang kepada ‘Al-Muhaafadhatu ‘alal qadiimis shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah’,
“ Memelihara yang lama yang relevan dan mengambil yang baru yang lebih
relevan”. Hal ini bisa dilihat dari kurikulum, sylabus, dan
matapelajaran-matapelajaran yang diajarkan yang disesuaikan dengan
kebutuhan zaman.
Singkat kata, sebagai madrasah tempat belajar,
madrasah mbah Dullah mungkin sama saja dengan yang lain. Yang membedakan
ialah karakternya.
Agaknya mbah Dullah –rahimahullah —
melalui teladan dan sentuhannya kepada pesantren dan madrasahnya, ingin
mencetak manusia-manusia yang kuat ‘dari dalam’; yang gagah ‘dari
dalam’; yang kaya ‘dari dalam’; sebagaimana ia sendiri. Manusia yang
berani berdiri sendiri sebagai khalifah dan hanya tunduk menyerah
sebagai hamba kepada Allah SWT.
Bila benar; inilah perjuang yang
luar biasa berat. Betapa tidak? Kecenderungan manusia di akhir zaman ini
justru kebalikan dari yang mungkin menjadi obsesi mbah Dullah. Manusia
masa kini justru seperti cenderung ingin menjadi orang kuat ‘dari luar’;
gagah ‘dari luar’; kaya ‘dari luar’, meski terus miskin di dalam.
Orang
menganggap dirinya kuat bila memiliki sarana-sarana dan orang-orang di
luar dirinya yang memperkuat; meski bila dilucuti dari semua itu menjadi
lebih lemah dari makhluk yang paling lemah. Orang menganggap dirinya
gagah bila mengenakan baju gagah; meski bila ditelanjangi tak lebih dari
kucing kurap. Orang menganggap dirinya kaya karena merasa memiliki
harta berlimpah; meski setiap saat terus merasa kekurangan.
Sayang
sekali jarang orang yang dapat menangkap kelebihan mbah Dullah yang
langka itu. Bahkan yang banyak justru mereka yang menganggap dan
memujanya sebagai wali yang memiliki keistimewaan khariqul ‘aadah. Dapat
melihat hal-hal yang ghaib; dapat bicara dengan orang-orang yang sudah
meninggal; dapat menyembuhkan segala penyakit; dsb. dst. Lalu karenanya,
memperlakukan orang mulia itu sekedar semacam dukun saja. Masya Allah!
Dari
sentuhan tangan dinginnya di Pesantren yang terletak di pinggiran
pantai utara Jawa itu, lahir ulama-ulama besar seperti KH Sahal Mahfudz,
KH Abdurrahman Wahid dll.
Begitulah; Mbah Dullah yang selalu
memberikan keteduhan itu telah meninggalkan kita di dunia yang semakin
panas ini. Ia sengaja berwasiat untuk segera dimakamkan apabila
meninggal. Agaknya ia, seperti saat hidup, tidak ingin menyusahkan atau
merepotkan orang. Atau, siapa tahu, kerinduannya sudah tak tertahankan
untuk menghadap Khaliqnya.
25 Sya’ban 1422 bertepatan 11 November 2001 sore, ketika Mbah Dullah dipanggil ke rahmatullah, wasiat pun dilaksanakan. Ia dikebumikan sore itu juga di dekat surau sederhananya di Polgarut Kajen Pati.
“Wahai
jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai,
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-sejatiKu, dan masuklah ke dalam
sorgaKu!”(Aji Setiawan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar