Fenomena tindak intolenasi hingga era sekarang ini masih selalu menjadi
sajian yang menghiasi media cetak maupun media elektronik, khususnya
intoleransi yang berpangkal pada perbedaan dalam hal keyakinan. Tindak
intoleransi ini tidak lain mengakibatkan ketidakharmonisan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan kemajemukan yang
ada di Indonesia dengan berbagai suku, agama, ras dan etnis yang belum
disadari. Sehingga kemajemukan ini harus diakui oleh semua elemen agar
terwujud kesejahteraan.
Namun kemajemukan di Bumi Nusantara ini
sepertinya belum sepenuhnya diakui dan disadari oleh sebagian
masyarakat. Belum adanya kesadaran yang demikian lahir karena adanya
pemahaman yang mereka yakini. Salah satunya pemahaman keagamaan yang
berorientasi hukum (law oriented religion).
Deskripsi
pangkal intoleransi yang demikian merupakan hasil renungan Haidar Bagir.
Melalui buku “Islam; Risalah Cinta dan Kebahagiaan” ini, Bagir mengajak
para pembaca agar dalam memahami agama tidak hanya berorientasi hukum.
Sebab pandangan yang demikian dapat berujung pada hal saling
menyalahkan. Maka, bagi Bagir, penting sekali untuk melakukan sebuah
pergeseran paradigma. Paradigma keagamaan Islam sebagai agama yang
berorientasi hukum ke agama yang berorientasi cinta (eros oriented religion) yang berujung kebahagiaan bersama.
Mengapa
demikian? Bagir mengajukan sebuah argumentasi, bahwa cinta tidak lain
adalah suatu sumber dari keinginan untuk memberikan kebaikan yang dapat
mendatangkan kebahagiaan kepada orang yang dicintai (hal. 4). Dalam kata
lain, prinsip ini menempatkan kebutuhan dan kepentingan kita di bawah
kebutuhan dan kepentingan orang yang dicintai. Sehingga benar apabila
cinta identik dengan dorongan untuk memberi, bukan menuntut. Apabila
setiap individu memiliki prinsip demikian dengan sesama individu yang
lain, maka umat manusia akan saling melengkapi. Pada akhirnya berujung
pada kebahagiaan dalam tatanan bersosial.
Silaturrahim atau
komunikasi yang baik tidak lain merupakan tali cinta manusia dengan
manusia yang lain. Namun makna silaturrahim tidak sekadar saling
mengunjungi atau berkomunikasi dengan berbagai macam cara. Sebenarnya
makna silaturrahim lebih dari itu, yakni upaya untuk melakukan perbuatan
yang baik kepada orang lain. Khususnya membantu melepaskan beban-beban
yang menyengsarakan mereka (hal. 75).
Pada gilirannya, menjalin
tali cinta sesama manusia ini dalam wujud perbuatan yang baik yang dapat
membantu dan memecahkan polemik. Hal ini justru akan memperkuat jalinan
kasih sayang antar umat manusia, tanpa memandang latar belakangnya.
Pola
pikir seperti ini menjadi sangat penting, sebab tak banyak yang
menyadarinya bahwa kehidupan manusia sesungguhnya adalah suatu
perjalanan untuk pergi dan pulang. Berangkat dari suatu tempat berangkat
menuju suatu tempat kembali. Pemahaman yang seperti ini tidak lain
adalah tempat berangkatnya, baik manusia bersumber dan berawal dari
Tuhan untuk berjalan kembali ke pada Tuhan yang Maha Pencipta (hal. 34).
Sehingga manusia harus saling bergotong-royong, agar dapat menghadapi
segala rintangan yang datang menghadang.
Walhasil, menarik
sekali buku ini untuk dibaca semua kalangan. Sebab buku yang sederhana
ini akan dapat membantu para pembaca yang budiman untuk merenungkan
lebih jauh tentang makna kehidupan. Kehidupan yang memberikan
kebahagiaan sejati yang merupakan dambaan kita semua, tanpa disertai
dengan tindak intoleransi dengan sesama. Buku ini semakin lengkap isinya
dengan dibumbui kisah-kisah bijak. Selain itu, dicantumkannya beberapa
tulisan asli beberapa filsuf dan sufi yang menambah buku ini semakin
mendalam dalam menyelami makna kehidupan.
Judul : Islam; Risalah Cinta dan Kebahagiaan
Pengarang : Haidar Bagir
Cetakan : I, Februari 2013
Tebal : xvii + 213 hlm
Penerbit : PT Mizan Publika
ISBN :978-979-433-758-5
Peresensi: Muhamad Zainal Mawahib, Mengabdi di Pondok Pesantren Taqwal Illah Semarang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar